S(t)ORRY


Part 1.

Telpon Berdering.

“Halo Kak, Ayah sudah pulang ya, ini baru sampai rumah.” kata Mama, Ibu sambungku, mengabari.

“Iya ma, nanti Kakak kesana. Tolong tanya Ayah, mau titip apa nanti Kakak sekalian lewat.” Aku menjawab.

“Ayah mau bubur sama pisang ya, Kak. Katanya bagus buat masa pemulihan.”

“Iya, nanti Kakak belikan.”

 

Part 2.

“Assalamualaikum” teriakku di depan pagar.

Rumah yang dulu menjadi tempat ternyamanku, kini amat berantakan. Aku mengerti-mungkin karena Ibu sambungku sulit membagi waktunya antara membersihkan rumah atau mengurus dua balita di dalamnya. Aku mengerti.

“Waalaikumsalam, Kakak ya?” Ibu sambung ku keluar rumah menyambut.

Masuk kedalam, aku tak kalah terkejut melihat tata rumah ini. Padahal, seingatku rumah ini dulu sangat rapih. Tidak apa, aku mengerti.

“Kak, bilangin Ayah. Dia susah banget diajak sehat. Tidur terus kerjanya. Sekarang sudah kena penyakit jantung baru merasa. Belum lagi merokok, belum lagi setelah makan langsung tidur, belum lagi....”Ibu sambungku terus bercerita. Aku hanya tersenyum dan mengangguk

Melihat ayah ku setelah sekian lama-dan dalam kondisi sakit-membuat hatiku gusar. Selama ini aku membenci nya, tidak tahu karena apa.

Mungkin karena aku melihat teman teman ku di genggam erat oleh ayah nya, sedangkan aku harus berjalan sendirian, berusaha percaya bahwa aku bisa melewati semua ini dengan baik. Padahal, aku cukup lelah dengan semua takdir ini.

 

Part 3.

“Terima kasih ya, Kak. pulang nya hati-hati.” Ucap Ayah sambil mengelus kepala ku.

Aku hanya mengangguk dan langsung menaiki motor ku. Bergegas pergi dari rumah ini adalah tujuan pertama ku saat aku tertegun tadi.

Di jalan, begitu banyak penyesalan. Sebenarnya aku sudah melihat ayah begitu kurus, matanya sayu. Padahal saat kami tinggal bersama, tubuhnya sehat, matanya berbinar, dan selalu tersenyum kepada anaknya. Tapi aku terus mengabaikannya-karena dia pun tidak pernah bertanya tentang hidupku.

Salahkah aku?

Yang kuingat tentangnya hanyalah kesedihan dan kepedihan. Pertama kali aku menangis di depannya adalah saat dia memutuskan menikah lagi. Orang-orang di sekitarku melihat dan menenangkan ku, mereka berucap “Ayah nikah lagi biar ada yang urus, biar ayah gak sendiri di rumah.”

Aku mengusap air mataku. Dan untuk sekian kalinya, aku mengerti. Tidak apa. Aku juga tidak akan selalu di samping ayah. Ayah menikah lagi memang untuk kebaikan hidupnya. Jadi, tidak ada salahnya aku mengikhlaskan.

Setelah semua penyesalan ini. Aku harus apa?

Terus mengerti atau bertanya?

Apakah aku boleh untuk masuk ke ceritanya?

Setidaknya jika dia tidak menggenggam ku, apakah aku boleh menggenggam nya?

Walaupun aku tahu dia lelah dengan hidupnya,
jujur...aku sangat membutuhkannya.
Aku sangat merindukannya.
Aku ingin tahu semua ceritanya.

 

Jadi ayah... let me know your story.
Aku hanya ingin bersamamu.

 

 

29 Mei 2025.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Komentar